Mengenal Rukyatul Hilal-Wujudul Hilal

Tiap tahun, saat akan menyambut bulan suci Ramadhan dan bulan Syawal, umat Islam sering dikhawatirkan dengan perbedaan dimulainya puasa dan perayaan Idul Fitri versi pemerintah dan versi beberapa organisasi besar Islam. Perbedaan ini timbul karena masing-masing pihak menggunakan metode yang berbeda dalam penentuan awal bulan dalam penanggalan hijriah. Beberapa moetode itu antara lain:

Rukyatul hilal, adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.

Kriteria ini berpegangan pada hadis Nabi Muhammad SAW, Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)."

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

Wujudul hilal, adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam; maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 Persis sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat.

Hisab wujudul hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi hisab wujudul hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Alquran (lihat QS Yunus: 5, QS Al Isra': 12, QS Al An-am: 96, dan QS Ar Rahman: 5) serta penafsiran astronomis atas QS Yasin ayat 39-40.

Di samping kedua metode ini, ada metode imkanur rukyat, yaitu kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah. Prinsipnya, awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:

* Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
* Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip imkanur-rukyat digunakan antara lain oleh Persis.

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.

Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan, karena masing-masing pihak mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel