Guru Malas VS Guru Rajin
13_09
Edit
Enak jadi guru malas, tidak pernah repot, tidak pernah stres sementara gaji yang diterimapun sama. Tidak ada bedanya antara rajin dan malas. Apa untungnya memikirkan sekolah, malah bikin stres saja.’ Ungkapan seperti itu sering saya dengar, ungkapan yang keluar dari mulut seorang guru berdedikasi. Ungkapan ini sesungguhnya hanya luapan emosi sesaat saja, karena kesal dengan kinerja teman-temannya yang dinilai kurang setia pada profesi.
Faktanya guru yang rajin tidak bisa serta merta bermetamorfosis menjadi guru malas, karena malas bukan karakternya. Ingin menjadi malas itu hanya ucapan dibibir saja batinnya berontak, sementara yang dilakukan tetap mencerminkan sosok guru yang rajin. Apa pula untungnya iri pada kemalasan. Jika guru yang rajin iri terhadap temannya yang malas, itu berarti dia belum ikhlas dalam melaksanakan tugas. Sikap rajinnya dikira untuk orang lain. Padahal tidak demikian semua yang kita kerjakan pada hakekatnya adalah untuk diri kita sendiri. Bersikap rajin berarti berbuat rajin pada diri sendiri. Buahnyapun yang memetik adalah diri sendiri. Masa menyesal berbuat baik pada diri sendiri ? Jangan dikira malas itu enak, enjoy dan tanpa masalah. Sebenarnya guru malas ini menderita juga, mereka iri kepada teman-temannya yang rajin. Mereka ingin juga mendapatkan penghargaan yang paling esensial dalam hidup, penghargaan yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Penghargaan itu bernama pengakuan. Pengakuan tentang kelebiahan-kelebihan dibanding orang lain. Pengakuan ini jangan dipandang remeh, karena pengakuan selanjutnya melahirkan kepercayaan, kepercayaan terhadap seseorang karena kemampuannya yang tidak dimiliki orang lain. Kemampuan kemudian membuahkan prestasi. Prestasi tidak selalu identik dengan kejuaraan atau pertandingan. Membuat suasana menjadi menyenangkan itu merupakan sebuah prestasi. Membuat persoalan menjadi mudah itu juga merupakan prestasi. Siapa yang tidak bangga mempunyai prestasi ?
Faktanya guru yang rajin tidak bisa serta merta bermetamorfosis menjadi guru malas, karena malas bukan karakternya. Ingin menjadi malas itu hanya ucapan dibibir saja batinnya berontak, sementara yang dilakukan tetap mencerminkan sosok guru yang rajin. Apa pula untungnya iri pada kemalasan. Jika guru yang rajin iri terhadap temannya yang malas, itu berarti dia belum ikhlas dalam melaksanakan tugas. Sikap rajinnya dikira untuk orang lain. Padahal tidak demikian semua yang kita kerjakan pada hakekatnya adalah untuk diri kita sendiri. Bersikap rajin berarti berbuat rajin pada diri sendiri. Buahnyapun yang memetik adalah diri sendiri. Masa menyesal berbuat baik pada diri sendiri ? Jangan dikira malas itu enak, enjoy dan tanpa masalah. Sebenarnya guru malas ini menderita juga, mereka iri kepada teman-temannya yang rajin. Mereka ingin juga mendapatkan penghargaan yang paling esensial dalam hidup, penghargaan yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Penghargaan itu bernama pengakuan. Pengakuan tentang kelebiahan-kelebihan dibanding orang lain. Pengakuan ini jangan dipandang remeh, karena pengakuan selanjutnya melahirkan kepercayaan, kepercayaan terhadap seseorang karena kemampuannya yang tidak dimiliki orang lain. Kemampuan kemudian membuahkan prestasi. Prestasi tidak selalu identik dengan kejuaraan atau pertandingan. Membuat suasana menjadi menyenangkan itu merupakan sebuah prestasi. Membuat persoalan menjadi mudah itu juga merupakan prestasi. Siapa yang tidak bangga mempunyai prestasi ?
kata - kata bijak dari : Nurwahyudi Agustiawan