Cerita Inspiratif Mendidik Siswa Super Nakal
13_12
Edit
Pada tahun 1994, saya seorang mahasiswa dan calon guru, di Fakultas Pendidikan, di Brisbane, Australia. Ada kegiatan magang selama 1 bulan di sekolah negeri biasa, yang paduan SMP dan SMA. Kami harus masuk kelas, mengajar seperti guru biasa, dan guru kelas yang menjadi pembina kami duduk di belakang dan menilai cara mengajar kami.
Di ruang guru, saya dikabari akan dapat kelas 8-F. Banyak guru langsung teriak, “Ya Ampun! Kamu baru belajar, langsung dapat Luke?” Kata semua guru, Luke sudah dikenal di seluruh wilayah itu. Pernah ditangkap polisi berkali-kali, pernah coba membakar gedung sekolah (hanya merusak sedikit), mencuri mobil, mencuri barang dari rumah orang, menyerang guru berkali-kai, tidak disukai semua guru dan siswa, dan setiap hari, dalam setiap kelas, dia hampir pasti dikeluarkan dan dikirim ke ruangan kepala sekolah alias tidak pernah selesaikan satu kelas.
Saya sangat kaget. Para guru senior mulai menggambarkan sebuah monster raksasa, dengan tanduk tajam, mata merah yang melotot, dan api yang keluar dari mulutnya sampai semua orang bakalan takut berhadapan dengan dia. Tidak ada siswa yang lebih buruk di seluruh kota. Dan saya yang masih “awam” harus mengajar Luke? Mereka hanya bisa berharap saya akan selamat.
Luke istimewa sendiri karena punya buku catatan khusus. Setiap kelas, setiap guru harus berikan tanda tangan dua kali yang menjadi bukti dia telah masuk dan tinggalkan kelas itu. Tapi di akhir kelas, yang berikan tanda tangan lebih sering kepala sekolah, bukan guru, karena dia selalu dikirim ke kepala sekolah. Setelah ada bel untuk kelas baru, dia harus pergi ke kelas berikut, dengan harapan tidak akan kembali ke kepala sekolah lagi.
Mahasiswa lain bertanya apa saya siap menghadapi tantangan seperti itu? Siswa monster raksasa yang tidak ada duanya? Mau lakukan apa? Kalau mau jadi guru, harus coba dihadapi. Saya berusaha meyakinkan diri bisa berhadapan dengan monster seperti itu dan tetap mengajar sesuai rencana. Saya akan dapat nilai buruk kalau tidak bisa. Saya berangkat ke kelas, siap berhadapan dengan sang monster.
Saya panggil nama siswa satu per satu. Saya sebutkan namanya, “Luke?” Dan melihat kiri-kanan. Lalu saya dapat kejutan yang sangat besar. Ada anak yang angkat tangan. “Hadir Pak.” Saya melihat dia 10 detik tanpa bicara. “Kamu Luke?”
Dia jawab, “Iya. Kenapa?” Saya menatap dia terus, dan bingung mau katakan apa. Di depan saya ada salah satu anak yang paling manis di kelas. Seperti Cover Boy berusia 14 tahun. Rambut coklat yang lurus dan rapi, disisir ke samping, mata coklat yang besar dan kelihatan cerdas, tidak ada jerawat, kulit muka halus, dan harus dikatakan ganteng. Ini si monster rakasasa yang ditakuti semua guru? Apa tidak salah? Saya bingung.
Saya mulai mengajar saja. Lima menit kemudian, Luke menyerang anak lain di kelas. Ohh, begitu ternyata. Tapi sebelum dia menyerang anak lain, saya dengar dari jauh anak itu menghinakan Luke. Jadi dia bereaksi, bukan menyerang tanpa alasan. Saya tahan Luke dan suruh dia duduk kembali. Guru senior ada di situ dan diam, pena di tangan, sedang mencatat nilai dan komentar tentang saya. Dia sudah berpesan Luke sebaiknya dikirim ke ruang kepala sekolah kalau nakal. Tidak usah ditanggapi, keluarkan saja. Saya melihat ke guru senior. Dia menunggu saya suruh Luke pergi. Tapi saya hanya suruh dia duduk saja.
Saya jalan ke belakang kelas, dan tegor anak yang tadi menghinakan Luke. Saya tegaskan ke semua anak bahwa tidak ada yang boleh menghinakan orang lain di kelas saya. Lalu saya tanyakan semua tugas yang mesti dikerjakan oleh 3 anak itu yang sedang ketawa-ketawa melihat Luke kena masalah. Apa sudah selesai semua jawaban? Kenapa belum mulai? Saya berdiri di situ terus, dan pastikan 3 anak itu harus mulai kerja. Mereka jadi takut dan mulai fokus pada tugas, melupakan Luke. Luke sudah duduk dan kerjakan tugas juga.
Jadi saya dapat pelajaran. Luke bereaksi setelah dihinakan anak lain. Setelah dikaji lebih dalam, dan ditanyakan ke banyak guru lain, ternyata Luke selalu begitu. Anehnya, guru senior salahkan Luke karena menyerang secara fisik, tetapi tidak bertindak terhadap anak-anak yang menghinakan dia (yang menjadi pemicu perbuatan dia). Sore itu, saya lihat Luke berdiri di depan ruang guru. Saya tanya kenapa dia berada di situ. Katanya sedang menunggu guru, karena nakal di kelas.
Saya melihat dia lama, dan mulai berpikir. Di dalam kuliah, anak seperti ini dijelaskan kepada kami. Ada banyak cara di dalam buku teks psikologi anak untuk bantu dia. Tapi semuanya hanya “teori” dan pengertian saya pada psikologi anak masih baru, belum mahir. Apa bisa saya praktekkan langsung? Saya melihat dia, ingat pelajaran dari dosen psikologi anak, dan mulai bicara dengan dia.
Tujuan hidup dia apa? Mau jadi apa? Katanya mau jadi pilot. Apa bisa jadi pilot kalau pernah masuk penjara? Mungkin tidak, katanya. Saya bilang kalau dia terus berperilaku seperti sekarang, cepat atau lama akan masuk penjara, karena tidak dapat hasil apapun dari sekolah. Apa mau masuk penjara? Dia bilang tidak peduli. Tapi juga mau menjadi pilot. Jadi saya suruh dia pilih salah satunya yang lebih utama di hati. Dia pilih menjadi pilot.
Saya tanya apa dia suka nurut dengan orang lain. Katanya tidak suka. Sukanya independen dan mandiri. Saya jelaskan, anak-anak lain di kelas itu memang nakal. Sudah menjadi semacam “permainan” bagi mereka untuk menghinakan Luke, menunggu dia menyerang dan dikeluarkan dari kelas, lalu mereka ketawa-ketawa. Mereka mungkin bertaruh bisa lewat berapa menit sebelum bisa “membuat Luke menyerang”. Dan kemudian dia selalu dikeluarkan oleh semua guru. Anak itu sedang mempermainkan Luke. Ternyata, Luke belum sadar.
Penghinaan itu kepada dia ibaratnya “perintah menyerang” dan Luke selalu nurut dengan perintah itu. Saya bilang kalau dia mau mandiri dan kuat sendiri, saya setuju. Caranya adalah pada saat mereka menghinakan dia, abaikan saja dan tidak usah peduli pada pendapat mereka. Yang penting hanya pendapat dia tentang diri sendiri, bukan pendapat orang lain. Dia bilang tidak mungkin. Semua orang pasti marah kalau diejek begitu. Saya keluarkan dompet dan angkat 20 dolar (sektiar 200 ribu). Saya bilang “Coba kamu menghinakan saya, dengan kata-kata yang paling kasar di dunia, dan kalau saya jadi emosi sedikit saja, kamu menang uang ini.”
Dia bingung dan sedikit takut. Masa boleh menghinakan guru? Saya jamin dia tidak akan kena sanksi apapun, karena saya yang suruh. Dia mulai. Keluar semua kata-kata paling kasar dalam bahasa Inggris, mungkin seperti yang anda dengar dalam film barat. Saya diam dan senyum. Saya suruh dia tambahkan lagi, dan tambahkan lagi, sampai akhirnya dia kehabisan kata-kata kasar dan saya masih senyum saja. Dia bingung. Kok bisa? Saya jelaskan, menjadi marah adalah pilihan. Saya percaya bahwa saya orang yang baik dan bermanfaat, jadi kalau Luke mau bilang saya brengsek, saya tidak peduli pada pendapat dia. Dan saya tegaskan dia juga bisa begitu.
Saya ajak dia coba berdua dengan saya, dengan cara saling menghinakan. Tetapi dengan syarat kalau salah satu dari kami jadi marah, harus langsung berhenti. Saya mulai. Makin lama, makin kasar. Saya hinakan dia, dia hinakan saya. Dan saya tetap senyum. Dia ikut senyum dan setelah 5 menit kami kehabisan kata dan mulai ketawa berdua. Saya bilang, “Tuh, sudah terbukti. Kamu juga bisa menahan diri dan bisa memilih untuk tidak menjadi marah.”
Tapi dia bilang di dalam kelas tidak mungkin seperti itu, karena dia tidak akan tahan. Katanya harus bereaksi untuk membela diri. Saya bilang kalau ada yang menghinakan dia, serahkan kepada saya, dan saya akan hentikan perbuatan mereka, tegor mereka, dan melindungi Luke dari serangan verbal mereka. Dia kelihatan kaget. Katanya, mana mungkin ada guru yang mau “melindungi” dia? Saya bilang saya akan selalu melindungi dia karena dia siswa saya. Jadi saya harus melindungi dia dari semua gangguan. Dia diam, seolah-olah belum pernah dengar komentar seperti itu dari seorang guru. Saya bilang cukup dia percaya pada saya, diam di tempat, tidak menyerang, dan saya akan melindungi dia.
Besok di kelas, saya datang kepada dia dan berbisik. Apa masih ingat percapakan kami? Dia harus bisa kendalikan diri, dan percaya pada saya. Jangan mau nurut dengan “perintah menyerang” (penghinaan dari siswa lain). Dia bilang ingat dan siap. Lima menit kemudian, siswa di belakang menghinakan Luke. Saya langsung jalan ke belakang dan suruh dia minta maaf, lalu berdiri di situ dan melihat mereka kerja. Ke seluruh kelas saya mengatakan tidak ada yang boleh menghinakan siswa lain, dan kalau terjadi lagi, yang bicara seperti itu akan dikeluarkan dari kelas. (Dan Luke akan selalu aman, selama diam di kursi). Sepanjang kelas itu, tidak ada kejadian lagi.
Besok Luke berada di depan ruang guru lagi, nakal di kelas lagi. Saya bahas sikap dia dan bertanya bagaimana bisa menjadi pilot kalau gagal di sekolah atau masuk penjara. Kami diskusi satu jam. Saya bilang kalau mau jadi pilot, harus dapat nilai A terus. Dia bilang tidak mungkin dapat A karena selalu dapat D dan E di rapor. Saya ingat pelajaran dari dosen psikologi anak. Saya bilang saya akan kasih Luke nilai A pada saat itu juga di rapornya, dan sesudahnya, dia harus bisa menjaganya. Lalu saya bahwa dia ke kelas, ambil rapot dia, menulis A di situ di depan mata dia. Kalau dia berantem di kelas lagi, nilai turun ke A-, B+, tapi kalau dia kembali baik, naik lagi menjadi A.
Dia bingung. Belum pernah ada guru yang bersikap begitu kepada dia. Kebanyakan guru di sekolah itu memang sudah tua, lulus kuliah pendidikan tahun 1960an sampai 1980an, jadi tidak belajar psikologi anak dulu (dan malas belajar lagi). Saya paham sikap mereka, walaupun sudah ketinggalan zaman, tetapi sebagai guru profesional, mereka seharusnya mau belajar terus dan berubah juga.
Saya datangi semua guru Luke, dan bikin kesepakatan dengan mereka. Kalau Luke nakal di kelas, jangan kirim ke kepala sekolah. Datang, berbisik kepadanya dan mengatakan, “Kalau kamu tidak berbuat baik, kamu akan dikirim kepada Mr. Netto dan harus menjelaskan diri.” Kebanyakan guru siap mencoba, walaupun ragu-ragu akan berhasil, dan ada juga 1-2 guru tua yang bilang percuma karena dia tidak mungkin akan berubah.
Dalam 1 minggu itu, Luke tidak dikeluarkan dari kelas, tidak ke ruangan kepala sekolah, dan tidak disuruh ke ruang guru. Semua guru cukup berbisik kepada dia, dan setelah ditanyakan apa mau dikirim ke saya sebagai “siswa nakal”, dia kembali diam. Dan saya juga minta semua guru itu untuk memperhatikan anak lain yang menghinakan Luke dan hentikan tindakan seperti itu di kelas.
Dalam rapat guru minggu itu, kepala sekolah bertanya apakah Luke sakit, karena dia sudah seminggu tidak ketemu Luke. Padahal biasanya ketemu setiap jam, setiap hari. Sepuluh guru langsung tunjuk kepada saya dan suruh kepala sekolah bertanya ke saya. Kepala sekolah melihat saya, dan mengatakan “Apa yang kamu lakukan pada Luke?” (Dan mukanya kelihatan bingung! hahaha).
Saya jelaskan isi dari diskusi saya dengan Luke, dan teori psikologi anak yang sedang digunakan, dan bahwa guru lain akan kirim kepada saya kalau dia nakal, dan saya akan ajak diskusi lagi tentang masa depan dia, dan kemampuan dia untuk memilih yang terbaik dari dua pilihan (baik dan buruk). Kepala sekolah kaget. Lalu dia mengatakan, “Bagus sekali Gene, tolong diteruskan!” Saya juga kaget. Baru ketemu kepala sekolah selama 10 menit pas datang di awal magang, dan sekarang dapat pujian di depan 60 guru senior. Hehehe.
Dalam 2 minggu saya berada di sekolah, Luke sudah berubah total. Hanya karena diperhatikan dan ditawarkan bantuan untuk diskusi dan menghadapi masalah. Total waktu yang habis untuk diskusi dengan dia mungkin 15 jam saja. Masalah utama dia sebenarnya ada di rumah. Orang tuanya tidak pernah ingin punya anak. Bapak sering mabuk dan hajar dia. Ibu sering menghinakan dia dan bilang bahwa dia tidak diinginkan. Saat saya tanya kepada Luke apa orang tua akan bangga kalau dia dapat nilai A, dia bilang mereka tidak akan peduli. Saya mengatakan bahwa saya tidak berkuasa untuk mengubah orang tua dia. Tapi walaupun mereka tidak peduli, saya akan tetap merasa bangga sebagai gurunya, selama dia masih mau berusaha menjadi lebih baik. Dia senyum dan janji akan berusaha terus.
Saat saya harus kembali ke kampus, saya minta tolong pada satu guru lain yang masih muda untuk teruskan tugas saya dengan Luke, dan dia berjanji akan melakukan itu. Luke dapat kabar saya mau berangkat ke Indonesia untuk kuliah di UI. Dia minta alamat rumah saya dari gurunya, kirim surat, dan minta saya kirim layang-layang Indonesia kepadanya. Setelah saya pindah ke Indonesia tahun 1995, di zaman sebelum ada HP, Facebook, email dan internet, saya tidak pernah dapat kabar lagi tentang dia, jadi tidak tahu kalau apa dia menjadi pilot atau masuk penjara. Tapi saya masih ingat pada dia. Mungkin dia merasa dapat “pelajaran” dari saya, tapi saya juga dapat “pelajaran” yang luar biasa dari dia.
Teman-teman, seorang anak bisa berubah. Anak “monster” yang paling buruk di seluruh wilayah bisa berubah. Semuanya terserah kita yang dewasa, yang menjadi guru dan orang tua. Apa kita mau datang kepada mereka sebagai teman? Sebagai pembina? Sebagai pelindung? Sebagai orang bijaksana? Sebagai orang yang peduli? Kalau kita siap berusaha dengan sikap yang baik, ramah dan penuh kasih sayang, insya Allah anak yang “paling buruk” masih bisa berubah. Kita yang perlu datang kepada mereka untuk mengajak diskusi, bukan duduk di “tempat terhormat” sebagai guru dan suruh mereka datang kepada kita untuk minta maaf karena nakal.
Sekian saja. Maaf kisah ini harus panjang, biar lengkap dan jelas. Ini kisah nyata, tanpa ada unsur rekayasa di dalamnya insya Allah. Saya masih ingat dengan tajam sampai sekarang pengalaman saya ketemu dengan Luke. Semoga kisah ini bermanfaat bagi teman-teman para guru dan orang tua yang peduli pada masa depan anak Indonesia.
Di ruang guru, saya dikabari akan dapat kelas 8-F. Banyak guru langsung teriak, “Ya Ampun! Kamu baru belajar, langsung dapat Luke?” Kata semua guru, Luke sudah dikenal di seluruh wilayah itu. Pernah ditangkap polisi berkali-kali, pernah coba membakar gedung sekolah (hanya merusak sedikit), mencuri mobil, mencuri barang dari rumah orang, menyerang guru berkali-kai, tidak disukai semua guru dan siswa, dan setiap hari, dalam setiap kelas, dia hampir pasti dikeluarkan dan dikirim ke ruangan kepala sekolah alias tidak pernah selesaikan satu kelas.
Saya sangat kaget. Para guru senior mulai menggambarkan sebuah monster raksasa, dengan tanduk tajam, mata merah yang melotot, dan api yang keluar dari mulutnya sampai semua orang bakalan takut berhadapan dengan dia. Tidak ada siswa yang lebih buruk di seluruh kota. Dan saya yang masih “awam” harus mengajar Luke? Mereka hanya bisa berharap saya akan selamat.
Luke istimewa sendiri karena punya buku catatan khusus. Setiap kelas, setiap guru harus berikan tanda tangan dua kali yang menjadi bukti dia telah masuk dan tinggalkan kelas itu. Tapi di akhir kelas, yang berikan tanda tangan lebih sering kepala sekolah, bukan guru, karena dia selalu dikirim ke kepala sekolah. Setelah ada bel untuk kelas baru, dia harus pergi ke kelas berikut, dengan harapan tidak akan kembali ke kepala sekolah lagi.
Mahasiswa lain bertanya apa saya siap menghadapi tantangan seperti itu? Siswa monster raksasa yang tidak ada duanya? Mau lakukan apa? Kalau mau jadi guru, harus coba dihadapi. Saya berusaha meyakinkan diri bisa berhadapan dengan monster seperti itu dan tetap mengajar sesuai rencana. Saya akan dapat nilai buruk kalau tidak bisa. Saya berangkat ke kelas, siap berhadapan dengan sang monster.
Saya panggil nama siswa satu per satu. Saya sebutkan namanya, “Luke?” Dan melihat kiri-kanan. Lalu saya dapat kejutan yang sangat besar. Ada anak yang angkat tangan. “Hadir Pak.” Saya melihat dia 10 detik tanpa bicara. “Kamu Luke?”
Dia jawab, “Iya. Kenapa?” Saya menatap dia terus, dan bingung mau katakan apa. Di depan saya ada salah satu anak yang paling manis di kelas. Seperti Cover Boy berusia 14 tahun. Rambut coklat yang lurus dan rapi, disisir ke samping, mata coklat yang besar dan kelihatan cerdas, tidak ada jerawat, kulit muka halus, dan harus dikatakan ganteng. Ini si monster rakasasa yang ditakuti semua guru? Apa tidak salah? Saya bingung.
Saya mulai mengajar saja. Lima menit kemudian, Luke menyerang anak lain di kelas. Ohh, begitu ternyata. Tapi sebelum dia menyerang anak lain, saya dengar dari jauh anak itu menghinakan Luke. Jadi dia bereaksi, bukan menyerang tanpa alasan. Saya tahan Luke dan suruh dia duduk kembali. Guru senior ada di situ dan diam, pena di tangan, sedang mencatat nilai dan komentar tentang saya. Dia sudah berpesan Luke sebaiknya dikirim ke ruang kepala sekolah kalau nakal. Tidak usah ditanggapi, keluarkan saja. Saya melihat ke guru senior. Dia menunggu saya suruh Luke pergi. Tapi saya hanya suruh dia duduk saja.
Saya jalan ke belakang kelas, dan tegor anak yang tadi menghinakan Luke. Saya tegaskan ke semua anak bahwa tidak ada yang boleh menghinakan orang lain di kelas saya. Lalu saya tanyakan semua tugas yang mesti dikerjakan oleh 3 anak itu yang sedang ketawa-ketawa melihat Luke kena masalah. Apa sudah selesai semua jawaban? Kenapa belum mulai? Saya berdiri di situ terus, dan pastikan 3 anak itu harus mulai kerja. Mereka jadi takut dan mulai fokus pada tugas, melupakan Luke. Luke sudah duduk dan kerjakan tugas juga.
Jadi saya dapat pelajaran. Luke bereaksi setelah dihinakan anak lain. Setelah dikaji lebih dalam, dan ditanyakan ke banyak guru lain, ternyata Luke selalu begitu. Anehnya, guru senior salahkan Luke karena menyerang secara fisik, tetapi tidak bertindak terhadap anak-anak yang menghinakan dia (yang menjadi pemicu perbuatan dia). Sore itu, saya lihat Luke berdiri di depan ruang guru. Saya tanya kenapa dia berada di situ. Katanya sedang menunggu guru, karena nakal di kelas.
Saya melihat dia lama, dan mulai berpikir. Di dalam kuliah, anak seperti ini dijelaskan kepada kami. Ada banyak cara di dalam buku teks psikologi anak untuk bantu dia. Tapi semuanya hanya “teori” dan pengertian saya pada psikologi anak masih baru, belum mahir. Apa bisa saya praktekkan langsung? Saya melihat dia, ingat pelajaran dari dosen psikologi anak, dan mulai bicara dengan dia.
Tujuan hidup dia apa? Mau jadi apa? Katanya mau jadi pilot. Apa bisa jadi pilot kalau pernah masuk penjara? Mungkin tidak, katanya. Saya bilang kalau dia terus berperilaku seperti sekarang, cepat atau lama akan masuk penjara, karena tidak dapat hasil apapun dari sekolah. Apa mau masuk penjara? Dia bilang tidak peduli. Tapi juga mau menjadi pilot. Jadi saya suruh dia pilih salah satunya yang lebih utama di hati. Dia pilih menjadi pilot.
Saya tanya apa dia suka nurut dengan orang lain. Katanya tidak suka. Sukanya independen dan mandiri. Saya jelaskan, anak-anak lain di kelas itu memang nakal. Sudah menjadi semacam “permainan” bagi mereka untuk menghinakan Luke, menunggu dia menyerang dan dikeluarkan dari kelas, lalu mereka ketawa-ketawa. Mereka mungkin bertaruh bisa lewat berapa menit sebelum bisa “membuat Luke menyerang”. Dan kemudian dia selalu dikeluarkan oleh semua guru. Anak itu sedang mempermainkan Luke. Ternyata, Luke belum sadar.
Penghinaan itu kepada dia ibaratnya “perintah menyerang” dan Luke selalu nurut dengan perintah itu. Saya bilang kalau dia mau mandiri dan kuat sendiri, saya setuju. Caranya adalah pada saat mereka menghinakan dia, abaikan saja dan tidak usah peduli pada pendapat mereka. Yang penting hanya pendapat dia tentang diri sendiri, bukan pendapat orang lain. Dia bilang tidak mungkin. Semua orang pasti marah kalau diejek begitu. Saya keluarkan dompet dan angkat 20 dolar (sektiar 200 ribu). Saya bilang “Coba kamu menghinakan saya, dengan kata-kata yang paling kasar di dunia, dan kalau saya jadi emosi sedikit saja, kamu menang uang ini.”
Dia bingung dan sedikit takut. Masa boleh menghinakan guru? Saya jamin dia tidak akan kena sanksi apapun, karena saya yang suruh. Dia mulai. Keluar semua kata-kata paling kasar dalam bahasa Inggris, mungkin seperti yang anda dengar dalam film barat. Saya diam dan senyum. Saya suruh dia tambahkan lagi, dan tambahkan lagi, sampai akhirnya dia kehabisan kata-kata kasar dan saya masih senyum saja. Dia bingung. Kok bisa? Saya jelaskan, menjadi marah adalah pilihan. Saya percaya bahwa saya orang yang baik dan bermanfaat, jadi kalau Luke mau bilang saya brengsek, saya tidak peduli pada pendapat dia. Dan saya tegaskan dia juga bisa begitu.
Saya ajak dia coba berdua dengan saya, dengan cara saling menghinakan. Tetapi dengan syarat kalau salah satu dari kami jadi marah, harus langsung berhenti. Saya mulai. Makin lama, makin kasar. Saya hinakan dia, dia hinakan saya. Dan saya tetap senyum. Dia ikut senyum dan setelah 5 menit kami kehabisan kata dan mulai ketawa berdua. Saya bilang, “Tuh, sudah terbukti. Kamu juga bisa menahan diri dan bisa memilih untuk tidak menjadi marah.”
Tapi dia bilang di dalam kelas tidak mungkin seperti itu, karena dia tidak akan tahan. Katanya harus bereaksi untuk membela diri. Saya bilang kalau ada yang menghinakan dia, serahkan kepada saya, dan saya akan hentikan perbuatan mereka, tegor mereka, dan melindungi Luke dari serangan verbal mereka. Dia kelihatan kaget. Katanya, mana mungkin ada guru yang mau “melindungi” dia? Saya bilang saya akan selalu melindungi dia karena dia siswa saya. Jadi saya harus melindungi dia dari semua gangguan. Dia diam, seolah-olah belum pernah dengar komentar seperti itu dari seorang guru. Saya bilang cukup dia percaya pada saya, diam di tempat, tidak menyerang, dan saya akan melindungi dia.
Besok di kelas, saya datang kepada dia dan berbisik. Apa masih ingat percapakan kami? Dia harus bisa kendalikan diri, dan percaya pada saya. Jangan mau nurut dengan “perintah menyerang” (penghinaan dari siswa lain). Dia bilang ingat dan siap. Lima menit kemudian, siswa di belakang menghinakan Luke. Saya langsung jalan ke belakang dan suruh dia minta maaf, lalu berdiri di situ dan melihat mereka kerja. Ke seluruh kelas saya mengatakan tidak ada yang boleh menghinakan siswa lain, dan kalau terjadi lagi, yang bicara seperti itu akan dikeluarkan dari kelas. (Dan Luke akan selalu aman, selama diam di kursi). Sepanjang kelas itu, tidak ada kejadian lagi.
Besok Luke berada di depan ruang guru lagi, nakal di kelas lagi. Saya bahas sikap dia dan bertanya bagaimana bisa menjadi pilot kalau gagal di sekolah atau masuk penjara. Kami diskusi satu jam. Saya bilang kalau mau jadi pilot, harus dapat nilai A terus. Dia bilang tidak mungkin dapat A karena selalu dapat D dan E di rapor. Saya ingat pelajaran dari dosen psikologi anak. Saya bilang saya akan kasih Luke nilai A pada saat itu juga di rapornya, dan sesudahnya, dia harus bisa menjaganya. Lalu saya bahwa dia ke kelas, ambil rapot dia, menulis A di situ di depan mata dia. Kalau dia berantem di kelas lagi, nilai turun ke A-, B+, tapi kalau dia kembali baik, naik lagi menjadi A.
Dia bingung. Belum pernah ada guru yang bersikap begitu kepada dia. Kebanyakan guru di sekolah itu memang sudah tua, lulus kuliah pendidikan tahun 1960an sampai 1980an, jadi tidak belajar psikologi anak dulu (dan malas belajar lagi). Saya paham sikap mereka, walaupun sudah ketinggalan zaman, tetapi sebagai guru profesional, mereka seharusnya mau belajar terus dan berubah juga.
Saya datangi semua guru Luke, dan bikin kesepakatan dengan mereka. Kalau Luke nakal di kelas, jangan kirim ke kepala sekolah. Datang, berbisik kepadanya dan mengatakan, “Kalau kamu tidak berbuat baik, kamu akan dikirim kepada Mr. Netto dan harus menjelaskan diri.” Kebanyakan guru siap mencoba, walaupun ragu-ragu akan berhasil, dan ada juga 1-2 guru tua yang bilang percuma karena dia tidak mungkin akan berubah.
Dalam 1 minggu itu, Luke tidak dikeluarkan dari kelas, tidak ke ruangan kepala sekolah, dan tidak disuruh ke ruang guru. Semua guru cukup berbisik kepada dia, dan setelah ditanyakan apa mau dikirim ke saya sebagai “siswa nakal”, dia kembali diam. Dan saya juga minta semua guru itu untuk memperhatikan anak lain yang menghinakan Luke dan hentikan tindakan seperti itu di kelas.
Dalam rapat guru minggu itu, kepala sekolah bertanya apakah Luke sakit, karena dia sudah seminggu tidak ketemu Luke. Padahal biasanya ketemu setiap jam, setiap hari. Sepuluh guru langsung tunjuk kepada saya dan suruh kepala sekolah bertanya ke saya. Kepala sekolah melihat saya, dan mengatakan “Apa yang kamu lakukan pada Luke?” (Dan mukanya kelihatan bingung! hahaha).
Saya jelaskan isi dari diskusi saya dengan Luke, dan teori psikologi anak yang sedang digunakan, dan bahwa guru lain akan kirim kepada saya kalau dia nakal, dan saya akan ajak diskusi lagi tentang masa depan dia, dan kemampuan dia untuk memilih yang terbaik dari dua pilihan (baik dan buruk). Kepala sekolah kaget. Lalu dia mengatakan, “Bagus sekali Gene, tolong diteruskan!” Saya juga kaget. Baru ketemu kepala sekolah selama 10 menit pas datang di awal magang, dan sekarang dapat pujian di depan 60 guru senior. Hehehe.
Dalam 2 minggu saya berada di sekolah, Luke sudah berubah total. Hanya karena diperhatikan dan ditawarkan bantuan untuk diskusi dan menghadapi masalah. Total waktu yang habis untuk diskusi dengan dia mungkin 15 jam saja. Masalah utama dia sebenarnya ada di rumah. Orang tuanya tidak pernah ingin punya anak. Bapak sering mabuk dan hajar dia. Ibu sering menghinakan dia dan bilang bahwa dia tidak diinginkan. Saat saya tanya kepada Luke apa orang tua akan bangga kalau dia dapat nilai A, dia bilang mereka tidak akan peduli. Saya mengatakan bahwa saya tidak berkuasa untuk mengubah orang tua dia. Tapi walaupun mereka tidak peduli, saya akan tetap merasa bangga sebagai gurunya, selama dia masih mau berusaha menjadi lebih baik. Dia senyum dan janji akan berusaha terus.
Saat saya harus kembali ke kampus, saya minta tolong pada satu guru lain yang masih muda untuk teruskan tugas saya dengan Luke, dan dia berjanji akan melakukan itu. Luke dapat kabar saya mau berangkat ke Indonesia untuk kuliah di UI. Dia minta alamat rumah saya dari gurunya, kirim surat, dan minta saya kirim layang-layang Indonesia kepadanya. Setelah saya pindah ke Indonesia tahun 1995, di zaman sebelum ada HP, Facebook, email dan internet, saya tidak pernah dapat kabar lagi tentang dia, jadi tidak tahu kalau apa dia menjadi pilot atau masuk penjara. Tapi saya masih ingat pada dia. Mungkin dia merasa dapat “pelajaran” dari saya, tapi saya juga dapat “pelajaran” yang luar biasa dari dia.
Teman-teman, seorang anak bisa berubah. Anak “monster” yang paling buruk di seluruh wilayah bisa berubah. Semuanya terserah kita yang dewasa, yang menjadi guru dan orang tua. Apa kita mau datang kepada mereka sebagai teman? Sebagai pembina? Sebagai pelindung? Sebagai orang bijaksana? Sebagai orang yang peduli? Kalau kita siap berusaha dengan sikap yang baik, ramah dan penuh kasih sayang, insya Allah anak yang “paling buruk” masih bisa berubah. Kita yang perlu datang kepada mereka untuk mengajak diskusi, bukan duduk di “tempat terhormat” sebagai guru dan suruh mereka datang kepada kita untuk minta maaf karena nakal.
Sekian saja. Maaf kisah ini harus panjang, biar lengkap dan jelas. Ini kisah nyata, tanpa ada unsur rekayasa di dalamnya insya Allah. Saya masih ingat dengan tajam sampai sekarang pengalaman saya ketemu dengan Luke. Semoga kisah ini bermanfaat bagi teman-teman para guru dan orang tua yang peduli pada masa depan anak Indonesia.