Merayakan Tahun Baru Hijriah

Oleh: Nashruddin Syarief


Sebagian umat Islam dengan dalih keagamaan meyakini bahwa tahun baru hijriah harus dirayakan karena titik tekan hijrahnya. Keyakinan tersebut tentunya sangat apologetik (mencari-cari alasan), karena pada faktanya hijrah Rasulullah saw terjadi pada tanggal 2-12 Rabi’ul-Awwal tahun 13 bi’tsah/kenabian, bukan pada awal bulan Muharram.[1]

Maka dari itu—dan ini memang sudah jamak disadari oleh mayoritas masyarakat Muslim—penyambutan tahun baru hijriah sebenarnya hanya terletak pada penyambutan tahun barunya, untuk menyaingi tahun baru masehi. Itu berarti motifnya bukan mengamalkan ajaran agama, tapi untuk tasyabbuh pada tahun baru masehi. Memang dari segi tujuan ada baiknya, yakni mengubah tradisi perayaan tahun baru masehi yang kental dengan pesta, menjadi lebih berpihak pada Islamnya dengan nuansa-nuansa Islami. Akan tetapi tentu tidak cukup berhenti sampai di sana. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya untuk mempunyai identitas mandiri, tidak ikut-ikutan pada budaya orang lain. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya agar tidak mempunyai mental pengekor yang selalu merasa minder jika tidak bisa menyamai orang-orang non-Islam. Untuk menjadikan Islam lebih tinggi di atas non-Islam tidak perlu menempuh cara-cara yang sama dengan yang telah ditempuh umat non-Islam. Pesan Rasul saw:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berati ia bagian dari mereka.[2]


Maka dari itu, ketika Nabi saw datang hijrah ke Madinah dan menemukan penduduknya suka merayakan hari Nairuz dan Mihrajan sebagaimana biasa dirayakan di masa Jahiliyyah, Nabi saw langsung melarangnya:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ r الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan. Tanya Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.”[3]


Terkait hadits di atas, Imam al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa dua hari yang biasa dirayakan penduduk Madinah waktu itu adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada pada titik bintang haml/aries. Bulan Nairuz dalam perhitungan tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan bulan Muharram dalam tahun hijriah. Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru. Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas.[4] Kedua perayaan tersebut sangat tidak disetujui oleh Rasulullah saw. Tidak perlu mengekor pada tradisi jahiliyyah, demikian kurang lebih pesan Rasulsaw, kita umat Islam pun punya perayaan tersendiri; ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha.

Sangat jelas sekali apa yang disampaikan Anas dalam hadits di atas. Rasul saw tidak merestui adanya perayaan tahun baru. Hanya ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja, titik, tidak ada lagi. Dan masih kurang jelas apa lagi Islam dalam memberikan tuntunan kepada umatnya agar tidak terbawa-bawa tradisi jahiliyyah. Bahkan jika dikaitkan dengan momentum hijrah ini, maka yang harus dilakukan justru menanggalkan semua bentuk perayaan yang biasa dirayakan bangsa-bangsa jahiliyyah, di antaranya tahun baru, dengan beralih (hijrah) pada tuntunan yang benar-benar berasal dari Islam.

Itu semua bukan berarti bahwa Islam tidak memberikan perhatian pada pergantian waktu. Karena sebagaimana kita tahu, waktu merupakan hal yang disorot secara tajam oleh al-Qur`an. Dari mulai titah untuk selalu memperhatikan waktu fajar (wal-fajri), waktu shubuh (was-shubhi idza tanaffas), waktu pagi (wad-dluha), waktu siang (wan-nahari idza tajalla), waktu sore (wal-’ashri), sampai waktu malam (wal-laili idza yaghsya), dan waktu secara menyeluruh itu sendiri (wal-’ashri). Semuanya itu selalu dikaitkan oleh Allah swt dengan sejauh mana amal yang sudah kita perbuat, untuk dijadikan sarana evaluasi atas semua yang telah kita kerjakan. Artinya, Islam tidak memandang pergantian tahun sebagai sesuatu yang istimewa lebih dari yang lainnya, hanya pergantian biasa saja seperti pergantian siang dan malam, tidak lebih dari itu. Dan yang diinstruksikan oleh al-Qur`an untuk diperhatikan justru yang lebih intensif dari tahun, yakni pergantian waktu di setiap hari dan malamnya.

Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.

taken from...persis.or.id

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel